Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Jumat, 30 Mei 2014

WANA WISATA DAN WADUK KEDUNG OMBO

WANA WISATA DAN WADUK KEDUNGOMBO
Mendengar kata Kedungombo tentunya pikiran orang langsung terarah kepada sebuah waduk yang berukuran raksasa. Pasalnya, waduk ini sempat menggegerkan bahkan mewarnai pentas politik nasional di akhir tahun delapan puluhan dan awal tahun sembilan puluhan. Bukan itu saja, pihak-pihak asing terutama negara-negara maju mengungkit-ungkit masalah ini hampir di setiap forum internasional. Peristiwa penggusuran 37 desa yang terkena pembangunan waduk di klaim telah melanggar hak asasi manusia. Mereka hanya melihat sisi negatifnya padahal sesungguhnya ada dampak positif yang lebih besar. Kesejahteraan masyarakat sudah pasti meningkat. Tidak hanya 37 desa melainkan ratusan desa dapat memanfaatkan sumber daya waduk ini untuk kebutuhan mereka di berbagai sektor.
Waduk Kedungombo berlokasi pada pertemuan tiga kabupaten yakni Boyolali, Sragen dan Grobogan. Luas areal seluruhnya 5.898 hektar dengan genangan 46 km2 dan volume air sebesar 731.000.000 m2. Panjang bendungan utamanya 1,6 Km, lebar bagian atas dan bawah masing-masing 12 meter dan 362 meter. Tinggi elevasi puncak 96 meter dan tinggi di atas pondasi terendah 66 meter. Badan bendung terdiri dari urugan batu, elay dan tanah khusus dari Juangi yang kedap air, seluruhnya berjumlah 7.000.000 m2. Awalnya dibangun khusus untuk mengendalikan banjir daerah serang bawah, yaitu Welahan Bum, Kedung Semat, Lembah Juana dan Glapan Sedadi yang disebabkan oleh air sungai Serang. Akan tetapi dengan berfungsinya Kedungombo, sekarang airnya dapat mengiri sawah sekitar 60.000 hektar. Di samping itu, air waduk digunakan juga sebagai pembangkit listrik (PLTA) dan sumber air minum yang dikelola PDAM.
Sebagai obyek wisata, kawasan ini menawarkan sejuta pesona keindahan alamnya yang khas. Ketika masih dalam perjalanan dari Boyolali menuju obyek lain, kita sudah terhanyut dalam kesejukan alami, kesejukan alam lingkungan tempo dulu yang didambakan segenap manusia masa kini terutama masyarakat kota yang selalu dihantui ketegangan, kejenuhan, kebosanan oleh beban dan rutinitas kehidupan kota. Kendatipun jarak yang ditempuh dari Boyolali ke Kedungombo cukup jauh yakni sekitar 40 Km, namun suasana terik matahari yang menyengat tidak terasa. Sepanjang perjalanan, di kanan kiri jalan ada hutan jati dan sedikit mahoni yang selalu siap memberi keteduhan dan memancarkan oksigen (O2) segar.
Begitu memasuki kawasan wisata utama, para wisatawan akan merasa seolah dibawa kepada alam kehidupan lain. Dari pintu gerbang memandang ke timur tampak hutan wisata dengan latar belakang air Waduk Kedung Ombo. Perpaduan antara nuansa alami dengan panorama buatan hasil kreasi manusia sangat menakjubkan. Di sinilah misteri kebesaran dan kemahakuasaan Tuhan Sang Pecipta Alam Semesta sungguh terjelma dan tampak nyata untuk mengisi “kehausan jiwa” para wisatawan. Suatu pemandangan unik bagaikan langit dan bumi bertemu menyatu dalam satu pesona yang tersalur-terwujud melalui akal budi manusia.
Wana wisata Kedungombo yang merupakan primadona di kawasan ini begitu menawan. Obyek yang terletak di Desa Ngeboran Kecamatan Kemusu ini barangkali dibuka dengan harapan agar wisatawan yang datang untuk menyaksikan dari dekat Waduk Kedungombo merasa aman, nayaman dan betah. Pepohonan jati dan mahoni yang tertata rapi menawarkan suatu kenikmatan tersendiri. Dan sebagai daya tarik bagi wisatawan, di dalam hutan wisata tersebut dilengkapi dengan tempat duduk dan tempat peristirahatan, tempat informasi, sarana bermain, pemancingan, gardu pemandangan atau shelter, sarana air bersih, dan MCK (Mandi, Cuci, Kakus). Tempat parkir kendaraan bermotor roda dua dan roda empat persis di tepi waduk atau di depan tempat peristirahatan. Satu hal yang menarik juga bahwa di dalam lokasi wana wisata disediakan tempat khusus untuk wisatawan yang hendak berkemah.
PEMANDIAN UMBUL PENGGING
Dari Boyolali menyusuri jalan raja Semarang – Surakarta ke arah timur sampailah kita di Bayudono. Tepatnya pada satu jalan beraspal ke kanan (selatan), bergerak mengikuti arah menuju ke Klaten kita akan tiba di desa Dukuh. Di desa inilah pada bagian kiri jalan terlihat sebuah pemandian yang unik, pemandian Umbul Pengging namanya. Jika diukur dari Boyolali, jaraknya 12 Km. Atau ditempuh dari Kota Surakarta berjarak 17 Km ke barat. Konon, menurut ceritera tempat ini pada jaman dahulu digunakan sebagai pemandian bagi raja-raja dari Kasunana Surakarta beserta keluarganya. Maka di tempat ini pula dilengkapi tempat peristirahatan yang dibangun persis di tepi kolam pemandian. Akan tetapi, pada masa sekarang seiring dengan bergulirnya waktu serta dikuranginya peranan keraton terhadap aspek kehidupan masyarakat umumnya, maka tempat ini tidak lagi menjadi milik raja melainkan untuk umum. Hak pengelolaannya juga beralih ketangan Pemerintah Kabupaten Boyolali.
Kini di hari-hari libur pemandian ini banyak dikunjungi para wisatawan. Pada hari Padusan menjelang bulan puasa yaitu pada tanggal 29 dan 30 Ruwah, wisatawan yang berkunjung ke sini mencapai puluhan ribu. Padusan berasal dari kata “adus” yang berarti mandi adalah sebuah upacara tradisional penduduk daerah Surakarta dan sekitarnya. Upacara ini sudah menjadi acara rutin setiap tahun karena diyakini bahwa mandi di tempat tersebut orang menjadi suci dirinya sehingga ketika melakukan ibadah puasa tidak ada lagi hambatan dan beban. Suasana puasa akan terasa aman, tentram dan bersih dari segala perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan suara hati dan kepercayaannya.
Dengan demikian upacara ini cukup banyak mendapat perhatian yang besar tidak hanya dari Boyolali melainkan juga dari Kartasura, Surakarta, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo, Yogyakarta dan daerah-daerah lain. Obyek wisata Pemandian Umbul Pengging memberi nuansa tersendiri bagi setiap orang yang berkunjung. Ketika menginjakkan kaki di pintu gerbang, suasana kesejukan alami segera terasa. Ada sebuah pohon besar persisi berada di depan pintu masuk. Pohon dengan daun-daunnya yang lebat itu menaungi sepenuh halaman masuk ke obyek yang sesungguhnya. dan begitu memasuki areal satu ini perasaan senang, gembira dan haru bercampur menyatu menjadi suatu kenikmatan yang tiada duanya. Hal ini didukung oleh tersedianya berbagai fasilitas yang ada didalamnya. Wisatawan yang ingin mandi atau berenang telah disediakan tiga buah kolam pemandian dengan air yang alami. Wisatawan yang ingin memancing bisa memanfaatkan dua buah kolam ikan sebagai arena pemancingan umum. Di sini pula ada lapangan tenis yang memiliki dua baan; tempat rekreasi untuk bermain anak-anak; tempat parkir kendaraan bermotor roda dua dan empat; tempat penitipan sepeda dan beberapa buah warung makan yang menyediakan masakan khas setempat seperti pecel lele dan welut goreng, serta panggung kesenian terbuka. Tiga kolam pemandian yang berada di dalam areal wisata ini adalah:
  • Umbul Penganten, menurut sejarah, pada jaman dahulu di pemandian ini terdapat dua buah umbul (sumber air alami). Suatu saat terjadi kunjungan Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono X. Begitu melihat ada dua umbul yang letaknya sangat berdekatan, beliau bersabda sehingga kedua umbul tadi terpatri menyatu. Bersatulah kedua umbul ini kemudian diibaratkan sepasang mempelai yang hidup rukun menjadi satu. Akhirnya umbul tersebut diberi nama Umbul Penganten.
  • Umbul Ngabean, kolam ini pada jaman Sri Paduka Susuhunan Pakubuwana ke X khusus hanya dipergunakan untuk mandi keluarga. Raja Kasunanan Surakarta. Nama Ngabean sebetulnya berasal dari kata Ngabehi, pangkat penjaga kolam waktu lalu. Umbul Ngabean juga berpagar tembok berbentuk bulat dengan garis tengah sepanjang 26 meter, kedalaman 1,50 meter. Dilengkapi dengan aula, panggung, ruang ganti pakaian, toilet dan kamar mandi.
  • Umbul Duda, Kisah munculnya kata “duda” berawal dari ditemukannya seekor kura-kura (bulus dalam bahasa Jawa) berjenis kelamin jantan. Oleh karena tidak ada kura-kura yang lain baik sesama jantan maupun betina maka tempat di mana ia hidup diberi nama Umbul Duda.
PEMANDIAN UMBUL TLATAR
Pemandian Umbul Tlatar merupakan pemandian alam yang terletak di desa kebondimo Kecamatan Boyolali Kota atau 5 Km sebelah utara Kota Boyolali. Pemandian ini pada jaman dahulu pernah dikunjungi Sri Paduka Susuhunan Pakubuwono X dari Surakarta. Sebagai tandanya, raja Surakarta itu menanam sebuah asam di dalam kolam pemandian yang hingga kini masih ada. Berkunjung ke kawasan obyek wisata ini terasa nikmat. Selain mandi, para wisatawan dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk mempelajari seluk belum pemeliharaan ikan. Dan bagi mereka yang ingin membeli ikan tempat ini telah menyediakan ikan bibit dan ikan konsumsi untuk dibawa pulang ke rumah sebagai oleh-oleh. Air yang mengisi dua buah kolam pemandian bersumberkan air alami. Begitu juga kebutuhan air untuk kolam ikan dan minuman ternak berasal dari sumber yangs ama dengan kolam pemandian. Karena debit airnya yang besar, sumber air ini dimanfaatkan oloeh PDAM Boyolali untuk kehidupan masyarakatnya. Terutama untuk kebutuhan air minum, memasak, mencuci dan berbagai kebutuhan lain. Menurut rencana, di obyek wisata ini akan dibangun lagi kolam renang, dan akan dilengkapi berbagai fasilitas penunjang lain sebagai daya tarik bagi wisatawan seperti lapangan tenis.

Museum Prasejarah Sangiran Sragen


Sangiran, daerah pedalaman di kaki bukit Gunung Lawu, sekitar tujuh belas kilometer dari kota Solo, Jawa Tengah, dikenal sebagai kawasan yang menyimpan sisa-sisa kehidupan masa lampau. Setidaknya telah ditemukan sekitar empat belas ribu fosil, atau sisa-sisa kehidupan masa silam yang telah membatu.
Di kawasan Sangiran ini pula, fosil homo erectus, manusia purba yang sudah maju ditemukan. Dengan luas wilayah hampir enam puluh kilometer persegi, Sangiran menyimpan lima puluh persen jumlah fosil yang ditemukan di dunia, serta enam puluh lima persen fosil yang ada di Indonesia. Tahun 1977, Sangiran resmi ditetapkan sebagai daerah cagar budaya, diperkuat dengan ketetapan Komite World Heritage, UNESCO, Sangiran sebagai salah satu warisan dunia. Bisa dibayangkan, bagaimana Sangiran menjadi suatu kawasan istimewa bagi Indonesia.
Bangunan museum Sangiran yang terletak di lokasi situs purbakala ini tergolong biasa saja. Padahal di bangunan sederhana inilah tersimpan sebagian rahasia kehidupan masa prasejarah yang penuh misteri. Ruang pamernya menghadirkan berbagai fosil yang ditemukan di Sangiran, baik fosil hewan maupun manusia. Dari koleksi fosil yang ada, bisa diketahui serta dipelajari pola hidup hewan dan manusia, berjuta-juta tahun lalu.
Fauna yang pernah ditemukan antara lain, buaya dan kura-kura raksasa, dan fosil gading gajah sepanjang 4 meter, serta rahang badak, rhinocerus sondaicus. Hewan-hewan ini diperkirakan hidup di Sangiran sekitar 500 ribu hingga 700 ribu tahun lalu.
Selain hewan bertulang belakang, di museum Sangiran juga dapat dijumpai fosil-fosil manusia purba. Bahkan, koleksi Sangiran merupakan koleksi terlengkap yang dapat menjelaskan tentang tahap perkembangan manusia, mulai dari yang belum mengenal peradaban, hingga yang sudah maju. Hal ini bisa diketahui dari bentuk fisik, seperti volume otak, cara berjalan, hingga penemuan alat-alat batu yang membuktikan pola pikir manusia saat itu, sudah maju. Seperti ciri-ciri homo erectus, dengan tinggi badan 165 hingga 180 senti meter, postur tegap, serta cara berjalan tegak, merupakan contoh manusia purba sempurna, tidak berbeda dengan manusia sekarang. Dengan koleksi yang tergolong lengkap, bukan satu keanehan, jika Sangiran menjadi salah satu tempat penelitian utama bagi arkeolog dalam dan luar negeri. Namun sebagai tempat wisata, Sangiran menjadi pilihan terakhir bagi wisatawan, jika hanya menawarkan temuan fosil.
Berbagai koleksi di museum ini, tidak bisa dilepaskan dari kerja keras para ahli purbakala yang ada. Perlu kehati-hatian dalam menjaga serta merawat keutuhan sebuah fosil, karena ciri khas fosil yang mudah hancur akibat lapuk. Namun pada kenyataannya, masih banyak pegawai museum yang mendapatkan gaji di bawah standar, yakni sebesar 140 ribu rupiah perbulan. Bahkan, selama 12 tahun bekerja, beberapa karyawan museum masih belum diangkat sebagai pegawai resmi museum.
Museum Sangiran dalam perkembangannya sendiri, juga melalui masa-masa sulit. Bahkan sebelum resmi menjadi museum seperti sekarang ini, benda purbakala di Sangiran berpindah-pindah ke beberapa tempat. Seperti di Balai Desa Krikilan, yang dikenal sebagai museum Plestosin tahun 1975 hingga 1987. Sangiran baru diresmikan sebagai museum prasejarah nasional di tanah air tahun 1988, seiring bertambahnya penemuan fosil di kawasan tersebut.
Proses penemuan fosil di Sangiran sendiri tergolong unik. Dari 14 ribu fosil yang ada, 80 persen merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar, sementara hanya 20 persen murni hasil penelitian. Bertani sebagai mata pencaharian mayoritas masyarakat setempat, semakin mendukung temuan fosil oleh warga sekitar, mengingat temuan tersebut lebih banyak ditemukan saat mereka bercocok tanam.
Setelah sekian lama, masyarakat Sangiran sendiri, kini sudah memiliki keahlian untuk membedakan apakah temuan mereka tersebut fosil atau hanya batu biasa. Keahlian ini mereka peroleh dari keterlibatan mereka saat para peneliti seperti von koenigswald tahun 1934, melakukan pencarian fosil di kawasan tersebut.
Rata-rata masyarakat setempat menemukan fosil manusia serta binatang purba, karena ketidak sengajaan. Misalnya saja fosil-fosil yang terletak di antara situs Sangiran yang berupa tebing-tebing. Akibat terkikis air, fosil tersebut akan nampak ke permukaan. Bahkan tidak jarang, saat musim tanam tiba, masyarakat justru disibukkan oleh penemuan fosil baru. Hasil temuan mereka selanjutnya, akan diserahkan kepada museum Sangiran. Sebagai imbalan, pihak museum akan memberikan uang imbalan yang disesuaikan dengan besar kecilnya fosil. Untuk fosil gading gajah sepanjang 4 meter misalnya, museum mengganti uang sebesar 300 ribu rupiah. Bahkan untuk fosil tulang kepala manusia, museum memberikan imbalan hingga 3 juta rupiah, mengingat kelangkaan fosil tersebut.
Di sisi lain, benda-benda purbakala di Sangiran juga kerap diperjual belikan secara gelap, dengan harga yang cukup menggiurkan. Kabarnya, seorang arkeolog Jepang pernah membeli sebuah fosil tengkorak manusia dari Sangiran, seharga 3 milyar rupiah dari pasar gelap. Pengawasan terhadap tindak pencurian ini diakui cukup sulit, karena hanya mengandalkan petugas museum. Saat ini laporan temuan dari masyarakat dirasakan semakin menurun, sehingga ada kekhawatiran hal itu akibat warga setempat menjual temuan-temuan mereka secara diam-diam, ditampung pihak-pihak yg tidak berhak.
Ada rencana untuk menjadikan Sangiran menjadi lokasi wana wisata yang lebih menarik minat wisatawan. Diantaranya pembangunan menara pandang, serta membenahi ruang museum yang sudah tidak mampu menampung fosil yang ada saat ini.
Sangiran, selintas memang seolah tak berbeda dengan daerah pertanian lainnya. Namun disinilah terkubur berbagai jawaban tentang rahasia kehidupan masa prasejarah, yang bisa dijadikan tuntunan umat manusia dalam menghadapi tantangan di masa depan. Pemikiran untuk menjadikan Sangiran sebagai salah satu obyek wisata perlu dipertimbangkan matang, agar warisan dunia ini tetap terjaga keutuhannya.(Idh)