Museum Prasejarah Sangiran Sragen

Sangiran,
daerah pedalaman di kaki bukit Gunung Lawu, sekitar tujuh belas
kilometer dari kota Solo, Jawa Tengah, dikenal sebagai kawasan yang
menyimpan sisa-sisa kehidupan masa lampau. Setidaknya telah ditemukan
sekitar empat belas ribu fosil, atau sisa-sisa kehidupan masa silam
yang telah membatu.
Di kawasan Sangiran ini pula, fosil homo erectus,
manusia purba yang sudah maju ditemukan. Dengan luas wilayah hampir
enam puluh kilometer persegi, Sangiran menyimpan lima puluh persen
jumlah fosil yang ditemukan di dunia, serta enam puluh lima persen
fosil yang ada di Indonesia. Tahun 1977, Sangiran resmi ditetapkan
sebagai daerah cagar budaya, diperkuat dengan ketetapan Komite World
Heritage, UNESCO, Sangiran sebagai salah satu warisan dunia. Bisa
dibayangkan, bagaimana Sangiran menjadi suatu kawasan istimewa bagi
Indonesia.
Bangunan
museum Sangiran yang terletak di lokasi situs purbakala ini tergolong
biasa saja. Padahal di bangunan sederhana inilah tersimpan sebagian
rahasia kehidupan masa prasejarah yang penuh misteri. Ruang pamernya
menghadirkan berbagai fosil yang ditemukan di Sangiran, baik fosil
hewan maupun manusia. Dari koleksi fosil yang ada, bisa diketahui
serta dipelajari pola hidup hewan dan manusia, berjuta-juta tahun
lalu.
Fauna
yang pernah ditemukan antara lain, buaya dan kura-kura raksasa, dan
fosil gading gajah sepanjang 4 meter, serta rahang badak, rhinocerus sondaicus. Hewan-hewan ini diperkirakan hidup di Sangiran sekitar 500 ribu hingga 700 ribu tahun lalu.
Selain
hewan bertulang belakang, di museum Sangiran juga dapat dijumpai
fosil-fosil manusia purba. Bahkan, koleksi Sangiran merupakan koleksi
terlengkap yang dapat menjelaskan tentang tahap perkembangan
manusia, mulai dari yang belum mengenal peradaban, hingga yang sudah
maju. Hal ini bisa diketahui dari bentuk fisik, seperti volume otak,
cara berjalan, hingga penemuan alat-alat batu yang membuktikan pola
pikir manusia saat itu, sudah maju. Seperti ciri-ciri homo erectus,
dengan tinggi badan 165 hingga 180 senti meter, postur tegap, serta
cara berjalan tegak, merupakan contoh manusia purba sempurna, tidak
berbeda dengan manusia sekarang. Dengan koleksi yang tergolong
lengkap, bukan satu keanehan, jika Sangiran menjadi salah satu tempat
penelitian utama bagi arkeolog dalam dan luar negeri. Namun sebagai
tempat wisata, Sangiran menjadi pilihan terakhir bagi wisatawan, jika
hanya menawarkan temuan fosil.
Berbagai
koleksi di museum ini, tidak bisa dilepaskan dari kerja keras para
ahli purbakala yang ada. Perlu kehati-hatian dalam menjaga serta merawat
keutuhan sebuah fosil, karena ciri khas fosil yang mudah hancur
akibat lapuk. Namun pada kenyataannya, masih banyak pegawai museum
yang mendapatkan gaji di bawah standar, yakni sebesar 140 ribu rupiah
perbulan. Bahkan, selama 12 tahun bekerja, beberapa karyawan museum
masih belum diangkat sebagai pegawai resmi museum.
Museum
Sangiran dalam perkembangannya sendiri, juga melalui masa-masa sulit.
Bahkan sebelum resmi menjadi museum seperti sekarang ini, benda
purbakala di Sangiran berpindah-pindah ke beberapa tempat. Seperti di
Balai Desa Krikilan, yang dikenal sebagai museum Plestosin
tahun 1975 hingga 1987. Sangiran baru diresmikan sebagai museum
prasejarah nasional di tanah air tahun 1988, seiring bertambahnya
penemuan fosil di kawasan tersebut.
Proses
penemuan fosil di Sangiran sendiri tergolong unik. Dari 14 ribu fosil
yang ada, 80 persen merupakan hasil penemuan masyarakat sekitar,
sementara hanya 20 persen murni hasil penelitian. Bertani sebagai
mata pencaharian mayoritas masyarakat setempat, semakin mendukung
temuan fosil oleh warga sekitar, mengingat temuan tersebut lebih
banyak ditemukan saat mereka bercocok tanam.
Setelah
sekian lama, masyarakat Sangiran sendiri, kini sudah memiliki keahlian
untuk membedakan apakah temuan mereka tersebut fosil atau hanya batu
biasa. Keahlian ini mereka peroleh dari keterlibatan mereka saat para
peneliti seperti von koenigswald tahun 1934, melakukan pencarian
fosil di kawasan tersebut.
Rata-rata
masyarakat setempat menemukan fosil manusia serta binatang purba,
karena ketidak sengajaan. Misalnya saja fosil-fosil yang terletak di
antara situs Sangiran yang berupa tebing-tebing. Akibat terkikis air,
fosil tersebut akan nampak ke permukaan. Bahkan tidak jarang, saat
musim tanam tiba, masyarakat justru disibukkan oleh penemuan fosil
baru. Hasil temuan mereka selanjutnya, akan diserahkan kepada museum
Sangiran. Sebagai imbalan, pihak museum akan memberikan uang imbalan
yang disesuaikan dengan besar kecilnya fosil. Untuk fosil gading gajah
sepanjang 4 meter misalnya, museum mengganti uang sebesar 300 ribu
rupiah. Bahkan untuk fosil tulang kepala manusia, museum memberikan
imbalan hingga 3 juta rupiah, mengingat kelangkaan fosil tersebut.
Di
sisi lain, benda-benda purbakala di Sangiran juga kerap diperjual
belikan secara gelap, dengan harga yang cukup menggiurkan. Kabarnya,
seorang arkeolog Jepang pernah membeli sebuah fosil tengkorak manusia
dari Sangiran, seharga 3 milyar rupiah dari pasar gelap. Pengawasan
terhadap tindak pencurian ini diakui cukup sulit, karena hanya
mengandalkan petugas museum. Saat ini laporan temuan dari masyarakat
dirasakan semakin menurun, sehingga ada kekhawatiran hal itu akibat
warga setempat menjual temuan-temuan mereka secara diam-diam, ditampung
pihak-pihak yg tidak berhak.
Ada
rencana untuk menjadikan Sangiran menjadi lokasi wana wisata yang lebih
menarik minat wisatawan. Diantaranya pembangunan menara pandang,
serta membenahi ruang museum yang sudah tidak mampu menampung fosil
yang ada saat ini.
Sangiran,
selintas memang seolah tak berbeda dengan daerah pertanian lainnya.
Namun disinilah terkubur berbagai jawaban tentang rahasia kehidupan masa
prasejarah, yang bisa dijadikan tuntunan umat manusia dalam
menghadapi tantangan di masa depan. Pemikiran untuk menjadikan
Sangiran sebagai salah satu obyek wisata perlu dipertimbangkan
matang, agar warisan dunia ini tetap terjaga keutuhannya.(Idh)
0 komentar:
Posting Komentar